#perjalanandimensiwaktusanggenius 131-140

 


Bab 131

Lestari sangat curiga pada ketajaman pisau yang dibuat dari urine hewan itu. Sebenarnya, ini bukan pisau biasa, melainkan pisau panjang yang menyerupai pedang.

"Pasti tajam!"

Sebagai seorang tukang besi, Suryadi merasa sangat yakin. Kemudian, dia memberi perintah,
"Bawa baju zirahnya kemari!"

Untuk menguji ketajaman pedang ini, Suryadi sudah membeli baju zirah kulit di pagi hari. Berlapis-lapis baju zirah kulit itu ditumpuk di atas bangku.

Syut!

Suryadi menebaskan pedang itu, lalu selapis demi selapis baju zirah itu pun robek. Wira tidak menghitung ada berapa banyak lapis baju zirah yang robek. Menurut sejarah teknik material, seorang ahli senjata dari Dinasti Utasel pernah membuat pedang dengan cara membungkus baja, lalu menggunakan metode pendinginan dan pemanasan ganda. Pedang yang dibuat dengan metode ini bisa menembus 30 lapis baju zirah kulit. Dengan baja karbon tinggi yang kualitasnya semakin bagus, pedang yang dihasilkan juga akan semakin tajam. Baju zirah yang ditembus pedang ini pasti melebihi 30 lapis. Lestari mulai menghitung baju zirah kulit yang robek,
"Satu, dua,"

Doddy pun membelalak. Pedang yang dipakai bandit dan petugas patroli paling banyak juga hanya bisa menembus 5-6 lapis baju zirah kulit. Bahkan golok ayahnya yang paling tajam juga hanya bisa menembus 20 lapis baju zirah kulit.

"Totalnya 36 lapis! Ayah, pedang yang kamu tempa bisa menembus 36 lapis baju zirah kulit!" ujar Lestari dengan gembira.

Orang yang mampu menempa pedang hingga bisa menembus 20 lapis baju zirah kulit sudah termasuk ahli senjata top.

"Hehe!"
Suryadi tersenyum senang sambil menggeleng, lalu berkata,
"Gadis bodoh, yang hebat bukan ayah, tapi kakak sepupumu!"

Tanpa baja karbon tinggi dan metode menempa pedang dengan membungkus baja yang diajarkan Wira, Suryadi hanya bisa menempa pedang yang paling banyak menembus 5-6 lapis baju zirah kulit. Lestari menatap Wira dengan malu, lalu meminta maaf,

"Kak, maaf, aku salah lagi. Kemarin, aku nggak seharusnya mencurigaimu dan mengatakan kamu sudah menipuku."

Dalam pengumpulan kotoran dan urine hewan hari ini, Wira menyuruh Gandi dan Ganjar pergi bersama Lestari. Dia tidak menyuruh Lestari untuk turun tangan sendiri dalan pengumpulan kotoran-kotoran itu, hanya menyuruh Lestari memimpin jalan.

Wira tersenyum sinis dan menjawab,

"Kalau minta maaf berguna, apa gunanya petugas patroli? Mau aku memaafkanmu? Cuci semua baju kotorku!"

Pfft!

Lestari langsung tertawa. Dia tahu kakak sepupunya yang usil itu sedang bercanda. Wira menoleh ke arah Suryadi dan berkata,
"Paman, dengan mengetahui cara menempa Pedang Treksha, kamu sudah menjadi ahli senjata terhebat di Nuala! Kelak, statusmu akan meningkat!"

"Nggak kok. Pasti ada yang lebih hebat dariku!" jawab Suryadi sambil tersenyum gembira.

Dia berusaha untuk tetap bersikap rendah hati. Wira menoleh ke arah Doddy, lalu berkata,

"Doddy coba lihat berapa banyak baju zirah yang bisa kamu tembus!"

Meskipun menggunakan pedang yang sama, jumlah baju zirah yang mampu ditembus praktisi seni bela diri dan orang awam tentu saja berbeda.

Syut!

Doddy menerima Pedang Treksha itu dengan gembira, lalu menebasnya. Tebasan ini terlihat bagaikan petir yang membelah langit.

Krek!

Baju zirah kulit yang totalnya ada 50 lapis itu langsung robek. Bahkan bangku di bawah baju zirah juga ikut terbelah. Melihat situasi ini, Lestari dan Suryadi langsung terkesiap. Mereka tidak menyangka jika pedang itu digunakan oleh orang yang berlatih seni bela diri, jumlah baju zirah kulit yang bisa ditembusnya akan bertambah begitu banyak. Wira memberi perintah lagi,
"Doddy, coba gunakan Pedang Treksha ini untuk bertarung melawan Gavin dengan pedangnya!".

"Bertarung? Nggak boleh! Bagaimana kalau pedang sebagus ini jadi cacat? Diuji dengan menebas baju zirah kulit saja sudah cukup kok!"

"Wira, nggak usah sampai segitunya. Pedang ini benar-benar bagus. Kalau tergores, kerugiannya akan sangat besar!"

Semua orang langsung menentang, termasuk Suryadi. Mereka tidak ingin pedang ini tergores. Dalam pertarungan dengan menggunakan pedang, tidak peduli pedang seberharga apa pun pasti akan meninggalkan baret. Pedang ini bisa menembus 36 lapis baju zirah kulit dan termasuk pedang berharga. Jika dijual, harganya akan sangat tinggi. Wira menjelaskan dengan serius,

"Paman, pedang itu pada dasarnya digunakan untuk bertarung. Kalau kita nggak uji kekuatan aslinya, akan sangat berbahaya ketika benar-benar digunakan. Diuji saja! Kalau benar-benar rusak, kita bisa menempa yang baru lagi."

Suryadi mengangguk dengan sedih.
Setelah itu, Doddy dan Gavin pun mulai bertarung.

Klang!

Suara besi beradu terdengar sangat nyaring, lalu situasi yang mengejutkan pun terjadi!




Bab 132

Krak!

Pedang Treksha yang dipegang Doddy masih utuh, tetapi pedang yang dipegang Gavin sudah putus.

"Wira, ini benar-benar senjata ajaib yang nggak ternilai harganya!" seru Suryadi dengan gembira sambil berlinang air mata.

Lestari menutup mulutnya dengan terkejut. Dia menyaksikan situasi ini dengan ekspresi tidak percaya. Wira tertawa pelan, lalu menjawab,

"Biasa saja kok, tapi bisa digunakan!"

Sebagai seseorang yang memiliki gelar doktor dalam teknik material, Wira bahkan pernah melihat pedang yang lebih tajam dari Pedang Treksha. Dapat dikatakan bahwa bukan Pedang Treksha yang hebat, melainkan pedang Gavin yang terlalu lemah sehingga tidak mampu menahan serangan Pedang Treksha. Sebenarnya, membungkus besi gubal dengan baja karbon tinggi adalah metode membungkus baja yang paling mendasar. Ada juga metode membungkus besi tempa dan unsur logam lainnya yang lebih rumit. Namun, metode membungkus baja level terendah sudah merupakan metode yang jauh melampaui kemajuan masyarakat era ini dan dapat dikatakan tak tertandingi. Setelah mendengar ucapan Wira, Lestari langsung menjulingkan matanya. Dia merasa Wira terlalu arogan.

"Kak Wira, pedang ini bagus banget dan jauh lebih bagus dari golok hitam kesayangan Ayah!" seru Doddy.

Dia sangat menyukai pedang yang sedang dipegangnya itu. Wira bertanya,

"Suka?"

"Emm!" jawab Doddy sambil mengangguk.

Tidak mungkin ada praktisi pedang yang tidak menyukai pedang seberharga ini. Wira melambaikan tangannya, lalu berkata,

"Kalau begitu, untukmu saja!"
"Apa?"

Semua orang langsung tercengang. Senjata sehebat ini bisa dijual di kota provinsi dengan harga yang luar biasa tinggi. Jadi, Lestari buru-buru memelototi Wira. Suryadi juga menatapnya dengan tatapan tidak rela.

"Kak Wira, senjata ini terlalu berharga. Meskipun suka, aku nggak bisa menerimanya!" tutur Doddy.

Dia memang sangat menyukai pedang ini, tetapi setelah mempertimbangkannya, dia memutuskan untuk menyerahkan Pedang Treksha itu kepada Wira. Wira melambaikan tangannya dan berkata,

"Simpan saja. Kita masih bisa menempa pedang baru!"

Doddy tertegun sejenak, lalu memasukkan pedang itu kembali ke sarungnya. Dia memeluk pedang itu dengan erat dan gembira. Gavin, Gandi, dan Ganjar merasa sangat iri. Para praktisi pedang tentu saja ingin memiliki sebuah senjata yang begitu berharga. Melihat ekspresi mereka, Wira tersenyum dan berkata,

"Tenang saja, pedang yang ditempa Paman selanjutnya bakal jadi milik kalian!"

"Terima kasih, Tuan Wira!" seru ketiga bersaudara itu.

Mereka langsung berlutut di hadapan Wira dengan berlinang air mata.

"Mulai lagi."

Wira menatap mereka dengan tidak berdaya dan berkata,

"Kalau kalian terus berlutut di hadapanku, kelak aku nggak bakal kasih kalian benda bagus apa pun lagi!"

Ketiga bersaudara itu bangkit sambil tersenyum malu. Tidak peduli apakah mereka mendapatkan pedang berharga itu atau tidak, mereka rela berbakti pada Wira. Lestari pun cemberut. Sebelum pedang ini ditempa, Wira sudah berjanji untuk memberikannya kepada orang lain. Kakak sepupunya ini masih sama borosnya seperti dulu! Meskipun merasa sedikit tidak rela, Suryadi tetap mengangguk sambil tersenyum gembira. Keponakannya ini sudah memiliki semakin banyak cara untuk menghasilkan uang, dia tentu saja harus dilindungi. Memberikan empat pedang hebat ini kepada Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar juga merupakan cara untuk melindungi Wira. Jadi, mereka sama sekali tidak rugi.

"Ayo lanjut leburkan besinya. Kita bisa menghasilkan beberapa pedang lagi dalam semalam!" seru Suryadi.

"Nggak masalah kalau kalian mau leburkan besinya dulu, tapi tempanya besok pagi saja. Jangan mengganggu tetangga malam-malam," ujar Wira.

Mereka semua sudah sibuk seharian, sudah saatnya mereka makan dan tidur. Wira dan Lestari masih sekamar, yang satu tidur di tempat tidur dan yang satu lagi tidur di lantai. Wira yang sedang tidur di lantai meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sambil berdesah. Lestari pun bertanya dengan heran,
"Kamu sudah berhasil menempa senjata yang begitu hebat, kenapa
masih berdesah?"

Wira menjawab sambil tersenyum,
"Siapa yang mampu membeli pedang
sebagus itu di Kabupaten Uswal?"

Lestari menjawab,
"Jual di Kota Pusat Pemerintahan Jagabu atau kota provinsi, dong!"

Wira menggeleng dan berkata,
"Perjalanan ke sana sangat berbahaya, di mana-mana ada bandit dan perampok."

Lestari pun tertegun, lalu mengangguk. Perjalanan ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu atau kota provinsi memang sangat berbahaya. Kadang-kadang, bahkan orang kaya kota kabupaten yang melakukan perjalanan dengan belasan orang bersenjata juga tetap dirampok.

Keesokan siangnya, Wira sedang latihan berdiri di halaman ketika suara menempa besi di toko besi tiba-tiba berhenti. Kemudian, terdengar teriakan Lestari,

"Ah! Ba... bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini?"

Wira pun berhenti latihan. Saat melihat Lestari membuka pintu dengan agak ketakutan, Wira bertanya,

"Siapa yang datang?"

Lestari berbisik,
"Pak Hendra!"
"Nggak usah takut!" hibur Wira.

Kemudian, dia membuka pintu dan berjalan ke luar. Doddy keluar dengan membawa Pedang Treksha dan diikuti Gavin beserta saudara-saudaranya. Di depan toko besi, terdapat sebuah kereta kuda mewah. Hendra, putra ketiga Keluarga Sutedja itu menutup hidungnya dengan saputangan. Dia merasa lingkungan di sekitarnya sangat kotor. Begitu melihat Wira, Hendra memicingkan matanya dan berkata,

"Tak disangka, Tuan Wira dari Kota Pusat Pemerintahan Jagabu ternyata adalah seorang pelajar dari Dusun Darmadi. Pelayanmu ternyata adalah putri seorang tukang besi, dan Suryadi ternyata adalah pamanmu! Selain itu, gula putih yang kamu jual bukan berasal dari barat, melainkan yang kamu hasilkan sendiri!"

Beberapa hari yang lalu, Hendra bertemu dengan Mahendra dan sudah bertanya dengan jelas mengenai identitas Wira. Awalnya, Hendra bermaksud untuk pergi ke Dusun Darmadi dan memaksa Wira menyerahkan metode memproduksi gula putih. Namun, tiba-tiba terdengar rumor bahwa Dusun Darmadi sudah menghancurkan Desa Tiga Harimau. Setelah mempertimbangkannya baik-baik, Hendra memutuskan untuk melakukan transaksi dengan Wira. Hanya saja, nadanya terdengar sombong. Dia tentu saja akan bersikap hormat terhadap anggota keluarga besar dari Kota Pusat Pemerintahan
Jagabu.

Namun, Wira hanyalah seseorang dari desa. Jadi, Hendra pun bersikap arogan saat menghadapinya. Kali ini, Hendra berencana untuk mengintimidasi Wira, lalu menurunkan harga gula putih agar Keluarga Sutedja bisa menghasilkan lebih banyak uang. Wira bertanya dengan ekspresi dingin,

"Memangnya kenapa?"

Hendra memang sudah secara langsung menunjukkan bahwa dirinya mengetahui identitas Wira dan menyiratkan ancaman dalam kata-katanya. Namun, Wira tidak takut dan juga langsung menantangnya. Saat ini, dia memiliki dukungan Iqbal dari pihak pemerintah. Selain itu, Hasan dan yang lainnya juga bisa melindunginya dalam hal bertarung. Jadi, dia tidak perlu takut pada seorang pedagang kaya seperti Hendra. Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar mengelilingi Wira, lalu menatap Hendra dengan tatapan membunuh.

Mereka berempat pada dasarnya memang adalah praktisi seni bela diri. Setelah membunuh Heru dan membasmi Desa Tiga Harimau, mereka berempat sudah menjadi semakin berani. Merasa dirinya bagaikan diawasi oleh lima binatang buas, Hendra pun bergidik. Dia baru teringat bahwa para penduduk Dusun Darmadi ini adalah orang yang pernah membunuh 40-50 bandit. Dia mau tak mau merasa ketakutan dan mundur beberapa langkah, lalu berkata sambil tersenyum canggung,

"Dik, kamu sudah menipuku waktu itu, wajar saja aku merasa agak kesal. Tapi, aku datang untuk melakukan transaksi denganmu kok!"

Wira melambaikan tangannya agar Doddy dan yang lainnya mundur. Kemudian, dia berkata sambil tertawa ringan,
"Transaksi seperti apa yang ingin Pak Hendra lakukan denganku?"

"Ada dua pilihan."

Hendra terkekeh, lalu berkata,
"Pertama, Keluarga Sutedja bermaksud untuk membeli metode memproduksi gula putih dengan sejumlah uang. Tapi, kelak kamu nggak boleh produksi gula putih lagi!"

Wira mengangkat alisnya dan bertanya, "Berapa banyak uang yang akan kalian tawarkan kepadaku?"

Hendra menjawab,
"Sepuluh juta gabak!"

"Apa?" Suryadi, Lestari, Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar langsung marah. Harga setengah kilogram gula putih sudah bernilai 30.000 gabak. Sepuluh juta gabak hanya setara dengan 150-200 kilogram gula putih. Keluarga Sutedja berencana untuk membeli metode memproduksi gula putih dengan harga serendah itu? Mereka benar-benar bermimpi di siang bolong!

Wira tersenyum dan menyindir,
"Royal sekali. Apa Pak Hendra merasa aku akan setuju?"

Hendra membujuk,
"Wira, gula putih bisa dijual dengan harga semahal itu berkat kerja keras Keluarga Sutedja mengangkutnya dari tempat ini sampai kota provinsi. Dalam setiap perjalanan, Keluarga Sutedja harus mengerahkan 50 orang. Selain biaya makan dan transportasi selama perjalanan, kami juga harus menyuap para bandit untuk melewati beberapa tempat. Kadang-kadang, barang kami juga akan dirampok. Jadi, risiko yang kami ambil sebenarnya sangat besar."

"Kalau kamu mau pergi menjualnya sendiri, mungkin kamu akan terbunuh dalam perjalanan. Tapi, kamu bisa langsung jadi orang kaya kalau menjual metode memproduksi gula pasir dengan harga 10 juta gabak. Bukannya dengan begitu hidupmu akan lebih santai?"




Bab 134

"Kalau Keluarga Sutedja merasa begitu kesulitan, kita nggak perlu kerja sama lagi!"

Wira tersenyum sinis dan melanjutkan, "Waktu aku bekerja sama dengan Keluarga Wibowo sebelumnya, Nona Dian bahkan nggak tawar-menawar waktu membeli sabun. Hari ini, aku akan menawarkan gula putih kepadanya. Mari kita lihat apakah dia akan merasa keberatan atau nggak."

Ekspresi Hendra langsung berubah. Dia buru-buru tersenyum menyanjung dan berkata,

"Wira, yang namanya berbisnis itu harus mementingkan urutan. Lagian, kerja sama kita baik-baik saja, 'kan? Kamu nggak boleh ganti haluan segampang itu, dong."

Wira mencibir,
"Aku selalu memperlakukan orang lain sebagaimana mereka memperlakukanku. Aku tahu apa niatmu. Kalau kamu menyingkirkan niat jahatmu, kita masih bisa lanjut bekerja sama. Kalau nggak, kerja sama kita berakhir sampai di sini saja. Kamu kira aku takut pada Keluarga Sutedja? Memangnya kalian lebih hebat daripada Desa Tiga Harimau?"

Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar sudah bersiap untuk menyerang, tubuh mereka juga memancarkan aura yang mematikan. Hendra langsung ketakutan. Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia akhirnya menekan keserakahannya dan berkata sambil tersenyum,
"Wira, kamu sudah salah paham padaku. Aku ini seorang pedagang, mana mungkin aku punya niat jahat? Keluarga Sutedja nggak akan ungkit tentang masalah membeli metode rahasiamu lagi. Kamu tetap pasok gula putih untuk Keluarga Sutedja, ya."

"Mengenai harganya, kamu boleh memutuskannya sendiri asalkan nggak keterlaluan. Lagian, Keluarga Sutedja akan menjualnya dengan harga tiga kali lipat lebih tinggi. Kalau kamu membuka harga terlalu tinggi, nggak akan ada yang mampu beli. Dengan begitu, kita juga nggak akan mendapat keuntungan."

Wira menjawab tanpa ekspresi,
"Kalau begitu, harganya tetap 30.000 gabak per setengah kilogram. Berapa banyak gula putih yang kamu perlukan? Antar saja uangnya dalam bentuk 80% uang emas dan 20% uang perak. Sekalian antarkan juga gula mentahnya ke Dusun Darmadi. Jumlahnya lima kali lipat lebih banyak dari jumlah gula putih yang kamu mau. Biayanya akan dipotong dari pembayaran gula putih. Kalau sudah selesai diproduksi, aku akan suruh orang untuk mengantarnya ke kota."

"Aku mau 150 kilogram gula putih. Aku pulang dulu untuk persiapkan uangnya, ditunggu ya!" jawab Hendra sebelum pamit.

Saat melihat kereta kuda Keluarga Sutedja yang sudah menjauh, Wira kembali ke toko besi dan mengatakan,

"Paman, sebaiknya kamu dan Lestari pindah ke Dusun Darmadi saja!"

Lestari langsung mengerti maksud Wira dan bertanya,
"Kak Wira, kamu takut Pak Hendra datang membuat kekacauan di sini dan memaksa kami menyerahkan metode memproduksi gula putih?" Wira mengangguk.

Setelah mengalami serangkaian masalah dengan Keluarga Silali, dia sudah tahu apa yang bisa dilakukan keluarga kaya demi mendapatkan keuntungan.

"Wira, Paman sudah terbiasa tinggal di kota. Aku nggak mau kembali ke desa."

Suryadi menjawab sambil tersenyum, "Kamu juga nggak usah terlalu khawatir. Pemimpin kabupaten yang baru sangat melindungi rakyat. Dengan adanya dia, Keluarga Sutedja nggak mungkin berani membuat keributan."

Wira hanya tersenyum masam sambil menggeleng. Suryadi masih kurang berpengalaman dan tidak tahu apa yang bisa dilakukan para keluarga kaya demi keuntungan. Bagi orang biasa, pemimpin kabupaten mungkin sangat berkuasa. Namun, seorang pemimpin kabupaten tidak memiliki kekuasaan yang begitu besar di hadapan keluarga kaya. Keluarga kaya memiliki banyak koneksi di ibu kota provinsi maupun kota pusat pemerintahan. Jadi, pemimpin kabupaten juga tidak berani sembarangan berselisih dengan para keluarga kaya. Contohnya Keluarga Silali, setelah mendapatkan bukti kuat mereka bekerja sama dengan bandit, pemimpin kabupaten baru bisa menjatuhkan mereka. Lestari berkata dengan suara rendah,

"Kak Wira, Ayah bukannya nggak mau ikut kamu hidup di desa. Dia nggak rela berpisah sama seseorang!"

"Gadis busuk, jangan sembarangan bicara! Kalau nggak, Ayah akan memukulmu!" tegur Suryadi dengan malu.

Dia mengangkat tangannya, seolah-olah hendak memukul Lestari.
"Kak Wira, Ayah menyukai Bibi Santi, tetangga kami yang sudah menjanda. Ayah sudah ingin menikahinya dari dulu!" ujar Lestari dengan cepat sambil bersembunyi di belakang Wira.

Wira menatap Suryadi dengan tatapan usil sambil berpikir,
'Oh, ternyata Paman menyukai seseorang!'

"Dasar kamu! Jangan merusak reputasi Bibi Santi!"

Suryadi ingin memukul Lestari, tetapi tidak berhasil. Dia pun berkata dengan malu,
"Wira, jangan percaya sama omong kosongnya. Paman nggak punya maksud seperti itu."

"Kalau nggak suka, kenapa Ayah selalu berkeliaran di sekitar rumahnya, lalu diam-diam mengintip ke dalam? Asal ada yang datang mengasah pisau, Ayah nggak pernah kasih potongan harga. Tapi kalau Bibi Santi yang datang, Ayah nggak pernah menerima uangnya dan juga menyuruhku menyapanya," ujar Lestari.

Kemudian, Lestari mengadu pada Wira dengan cemberut,
"Kak Wira, setiap aku mengungkitnya, Ayah selalu memarahiku. Dia lebih menyayangimu. Coba kamu yang bantu Ayah biar dia bisa lebih cepat menikahi Bibi Santi dan melahirkan putra yang bisa meneruskan Keluarga Salim!"

"Gadis busuk, jangan sembarangan bicara! Mana ada hal seperti itu. Aku nggak terima uang Santi karena dia miskin. Lagian, dia juga sering memberikan kita makanan." Wajah Suryadi sudah semerah tomat.

Dia melanjutkan,

"Wira, jangan percaya sama omongan Lestari!"






Bab 135

selama ini, seorang senior yang selalu mengatur pernikahan juniornya. Mana ada seorang junior yang mengatur pernikahan seniornya?
Wira bertanya sambil tersenyum,

"Lestari, kalau Paman suka sama dia, Kenapa kamu nggak suruh orang untuk menjodohkan mereka?"

Lestari menjulingkan matanya dan menjawab,
"Dulu, kami nggak punya cukup uang. Waktu kamu kasih kami seratusan ribu gabak, aku sudah berencana untuk cari makcomblang dan mengatur hal ini untuk Ayah. Alhasil, kamu malah bilang mau membuat mortar. Untuk beli bahan dan tungku pembakarannya saja, kita sudah habiskan 100 ribu gabak. Ayah uangnya nggak cukup dan membatalkan niatnya untuk menikah."

"Diam!"

Suryadi melambaikan tangannya dengan malu dan berkata,
"Wira, jangan dengar omong kosongnya!"
"Paman, ini masalah serius!"

Wira berkata sambil tersenyum,
"Nanti kalau Keluarga Sutedja sudah mengantar uangnya kemari, aku akan memberimu sejuta gabak. Cepat selesaikan masalah ini! Kalau ragu terus dan ada orang lain yang duluan melamarnya, kamu pasti nyesal!"

"Nggak mungkin!"
Suryadi menjawab sambil menggeleng, "Dia punya satu syarat untuk menikah, yaitu harus membawa ibu mertua dan sepasang anaknya. Kalau mau tambah menghidupi tiga orang, nggak akan ada yang mungkin menyetujui syaratnya. Dulu, Paman juga nggak berani. Uang yang dihasilkan dari toko besi saja masih belum cukup untuk menyiapkan maskawin Lestari."

"Dia begitu berbakti pada ibu mertuanya, juga menyayangi anak-anaknya. Dia itu wanita yang baik!"

Wira langsung mengangguk dan melanjutkan,
"Paman, kalau kamu memang suka, nikahi saja dia. Kita mampu menghidupi tiga orang tambahan kok. Dengan keadaan kita sekarang, kamu bahkan juga bisa menikahi seorang anak gadis, nggak harus wanita janda!"

Pernikahan di zaman ini tidak mempertimbangkan umur, masa depan, ataupun cinta. Ada banyak orang yang menikahkan putri mereka agar bisa mengurangi beban pajak yang harus ditanggung keluarga. Bagaimanapun juga, semua orang hidup dalam kemiskinan.

"Anak gadis apa? Paman sudah tua, berbuat begitu namanya dosa!"

Suryadi yang sudah berumur 35 tahun itu berkata dengan malu,
"Santi saja. Dia baik hati dan juga bisa mengurus keluarga. Dia pasti akan menjadi pendamping yang baik!"

Wira menjawab sambil tersenyum,
"Baiklah. Lestari, carilah seorang makcomblang, lalu beli hadiah pernikahan yang banyak. Kita adakan pernikahan ini dengan meriah!"

"Ja... jangan!"
Suryadi melambaikan tangannya dan berkata,

"Ini sudah pernikahan kedua kami. Kalau mengadakan acara pernikahan yang meriah, kami akan ditertawakan orang-orang. Kita cuma perlu adakan sebuah upacara sederhana!"

Wira juga tidak memaksa lagi. Di era ini, gosip memang bisa menghancurkan kehidupan orang. Pada sore hari, orang Keluarga Sutedja sudah mengirimkan uangnya. Totalnya ada 2,7 juta gabak. Melihat uang sebanyak itu, orang-orang di rumah ini langsung kegirangan.

Sebelum mereka sempat membeli hadiah pernikahan, ada sebuah kereta kuda lagi yang tiba di Toko Besi Keluarga Salim. Begitu melihat kusir dan orang yang turun dari kereta kuda, Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar langsung terkejut dan terlihat agak
gugup. Orang yang datang tidak lain adalah Iqbal dan Regan. Namun, mereka memakai baju biasa sehingga terlihat seperti orang biasa. Akan tetapi, Regan tetap membawa goloknya untuk menunjukkan statusnya. Iqbal menangkupkan tangannya dan berkata, "Tuan Wira, maafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini." Lestari langsung tertegun.

Bahkan pria paruh baya yang sangat berwibawa ini juga memanggil Wira dengan sebutan tuan. Sebenarnya, ada berapa banyak hal tentang Wira yang tidak diketahuinya? Wira melambaikan tangannya dengan tidak senang dan berkata,
"Nggak usah kasih hormat seperti itu, aku nggak suka yang begituan!"

"Baik, Tuan!"

Iqbal tersenyum kecut, lalu mengeluarkan sebuah undangan. Kali ini, aku datang untuk mengantarkan undangan menghadiri Kompetisi Puisi Naga."






Bab 136

"Kompetisi Puisi Naga?"

Wira menerima undangan itu, lalu membukanya dan berkata sambil menggeleng,
"Aku nggak tertarik sama kompetisi puisi."

Pada akhir Dinasti Jenggara, muncul seorang pahlawan hebat. Raja pertama Kerajaan Nuala berperang di luar Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, mengalahkan pesaing segenerasinya, lalu menetapkan dasar untuk membangun kerajaan yang kuat. Setelah kemenangannya, dia menulis sebuah puisi mengenai pertempuran.
Selanjutnya, ada seorang gubernur setempat yang mendirikan sebuah asosiasi, lalu mengumpulkan para sarjana untuk mengadakan kompetisi puisi. Tradisi ini pun dilanjutkan dari generasi ke generasi. Pada akhirnya, keluarga kerajaan juga berpartisipasi dalam kompetisi ini sehingga persyaratan untuk berpartisipasi juga menjadi semakin tinggi. Awalnya, para pelajar boleh berpartisipasi. Kemudian, persyaratannya berangsur-angsur
naik menjadi pelajar yang belum berhasil melewati ujian kerajaan, sarjana kabupaten, dan pada akhirnya menjadi sarjana provinsi. Siapa pun yang berhasil membuat orang-orang di kompetisi itu terpukau akan menjadi terkenal dan bahkan mendapatkan perhatian dari para cendekiawan, anggota keluarga kerajaan, dan keluarga kaya. Orang itu bahkan bisa berteman dengan para sarjana kerajaan, dan memperoleh nasihat mengenai pengalaman mereka dalam ujian kerajaan. Jadi, ini adalah acara yang sangat didambakan oleh para pelajar. Namun, Wira sama sekali tidak tertarik pada kompetisi puisi semacam
ini. Dia juga tidak berminat untuk berteman dengan para sarjana provinsi atau sarjana kerajaan. Sebab, jurusan yang dikuasai Wira berbeda dengan orang-orang itu. Oleh karena itu, dia juga tidak tahu harus bagaimana bergaul dengan orang-orang itu.

Iqbal berkata sambil tersenyum masam,

"Tuan mempelajari hal-hal ilmiah tinggi, wajar saja Tuan nggak tertarik pada hal-hal kecil seperti puisi dan sastra. Tapi, strategi merobohkan tembok pasar yang Tuan ajarkan padaku masih belum mendapatkan tanggapan dari pihak kerajaan. Aku rasa, mungkin penasihat kiri dan penasihat kanan bertengkar lagi. Sepertinya strategi ini akan berakhir sia-sia."

Wira melambaikan tangannya dengan tidak sabar dan berkata,
"Jangan bicarakan soal masalah-masalah tak penting ini lagi. Mereka berdua hanya sibuk berselisih dan mementingkan jabatan masing-masing. Mereka sama sekali nggak mengurus urusan penting maupun peduli pada kehidupan rakyat."

"Sebenarnya penasihat kiri..."
Saat melihat ekspresi Wira yang muram, Iqbal mengalihkan topik pembicaraan dengan berkata, "Meskipun skala Kompetisi Puisi Naga sudah semakin kecil dalam beberapa tahun terakhir, masih tetap ada banyak cendekiawan terkemuka, sarjana provinsi, dan bahkan keturunan keluarga terpandang yang akan berpartisipasi."

"Kompetisi puisi kali ini diselenggarakan Putro Gumilar, teman baikku. Aku sudah mendapatkan posisi sebagai juri untukmu. Kalau kamu hadir, kamu pasti bisa memperluas pengaruhmu. Kelak baik dalam mendidik murid maupun memperbaiki situasi negara, kamu pasti akan memiliki lebih banyak pendukung!" ujar Iqbal.

"Aku mau mendidik siapa dengan sedikit pengetahuanku ini? Situasi Nuala sudah menjadi seperti ini, bahkan para dewa juga nggak bisa menyelamatkannya!" Wira merasa sangat tidak berdaya.

Tiba-tiba, dia teringat sesuatu dan bertanya dengan penuh semangat,
"Ada keturunan keluarga terpandang yang juga akan berpartisipasi dalam kompetisi puisi ini? Kalau begitu, mereka pasti nggak kekurangan uang dong?"

"Uang? Emm, iya!" jawab Iqbal dengan heran.

Kemudian, dia berpikir dalam hati, 'Kompetisi Puisi Naga adalah kesempatan tuk menjadi terkenal, kenapa Tuan Wira tiba-tiba mengungkit tentang uang? Nggak, Tuan Wira nggak mata duitan. Dia pasti punya maksud lain. Jangan-jangan, Wira mau menghasilkan uang dari orang-orang kaya itu untuk membantu rakyat miskin?'

Wira masih memikirkan kepada siapa dia harus menjual Pedang Treksha. Sekarang, pertanyaan itu sudah terjawab. Setelah berpikir sejenak, Wira menggeleng dan berkata,

"Aku tetap nggak bakal pergi ke Kompetisi Puisi Naga itu."

Iqbal bertanya dengan heran,
"Kenapa, Tuan?"

Wira menjawab,
"Jarak dari Kabupaten Uswal hingga, Kota Pusat Pemerintahan Jagabu totalnya 435 kilometer, juga harus melewati dua kabupaten. Selain itu, perjalanannya juga agak berbahaya."

Sebenarnya, Wira memang berencana untuk mengunjungi Kota Pusat Pemerintahan Jagabu. Bagaimanapun juga, menghasilkan uang di kota besar lebih mudah. Namun, bepergian di era ini sangatlah sulit. Selain itu, juga tidak ada satelit navigasi maupun peta yang bisa membimbingnya. Iqbal bangkit dengan terkejut, lalu memberi hormat sambil berkata,
"Tuan, pemikiranku memang terlalu pendek. Aku ini seorang pejabat, meskipun bertemu bandit, mereka juga nggak berani merampokku. Tapi, kamu itu rakyat biasa. Perjalanan ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu memang nggak aman buatmu."

Lestari yang berada di samping langsung tercengang. Pria paruh baya ini ternyata adalah seorang pejabat, tetapi dia malah bersikap begitu sopan terhadap Wira. Regan membungkuk, lalu berkata sambil menangkupkan tangan,
"Pak, kalau Tuan Wira benar-benar ingin pergi ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, dia hanya harus memperhatikan beberapa hal."

Wira langsung antusias dan bertanya,
"Apa sebagai kepala petugas patroli, Pak Regan punya cara lain?"

Begitu mendengar Regan adalah kepala petugas patroli, Lestari langsung menutup mulutnya dengan terkejut. Dia melirik ke arah Iqbal yang dipanggil dengan sebutan pak oleh Regan. Siapa dia? Lestari benar-benar tidak berani memikirkan seberapa tinggi kedudukan Iqbal. Regan membentangkan selembar peta, lalu memberi arahan,

"Kalau Tuan mau pergi ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, ada tiga tempat yang harus diperhatikan. Gunung Harimau Hitam, Pegunungan Dajore, dan Yispohan. Saat ini, bandit di Gunung Harimau Hitam sudah dibasmi. Yang tersisa hanya bandit di Pegunungan Dajore dan Yispohan."

"Kekuatan bandit di Pegunungan Dajore kurang lebih sama dengan Desa Tiga Harimau. Kekuatan bandit di Yispohan jauh lebih hebat dari gabungan kekuatan Gunung Harimau Hitam dan Pegunungan Dajore. Kamu harus ekstra hati-hati. Tapi, kamu bisa melewati tempat itu dengan mudah dengan memberikan uang kepada para bandit itu."

"Coba kulihat!" kata Wira sambil mengambil peta itu.

Peta itu tidak besar dan menunjukkan rute dari Kabupaten Uswal hingga Kota Pusat Pemerintahan Jagabu. Dalam sepanjang perjalanan, mereka akan melewati kota kabupaten, pasar, sungai, pegunungan, jalan biasa, jalan gunung, pos militer, dan penginapan. Peta ini digambar dengan tangan dan
sangat sederhana. Begitu Wira mengambil peta itu dari tangannya, ekspresi Regan langsung berubah. Di sisi lain, Iqbal juga membalikkan badan tanpa mengatakan apa-apa. Peta merupakan barang terlarang di masyarakat. Rakyat biasa dilarang untuk menyimpan atau menggambar peta, sedangkan para pedagang boleh menyimpan peta sederhana. Namun, peta itu juga hanya berisi rute perdagangan dan pengiriman.

Peta yang dimiliki Regan adalah peta yang lebih mendetail daripada peta yang dimiliki para pedagang, tetapi lebih sederhana daripada peta yang digunakan prajurit militer. Menurut logika, orang biasa tidak boleh melihatnya. Namun, jika Iqbal menutup sebelah mata, Regan juga hanya bisa mengikutinya. Setelah selesai mengamati peta itu dan mengingatnya dalam hati, Wira pun mengembalikannya kepada Regan. Regan menyimpan peta itu, lalu memperingati Wira,

"Kalau mau pergi ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, selain mewaspadai bandit besar, Tuan juga harus mewaspadai perampok jalan kecil. Sebaiknya, orang yang bepergian bersamamu bersenjatakan pedang agar keamanan kalian bisa terjamin."

"Bersenjatakan pedang?"
Wira bertanya dengan terkejut,

"Bukannya peraturan Nuala melarang rakyat biasa bersenjatakan pedang?"

Regan tertawa, lalu menjawab,
"Peraturannya memang seperti itu, tapi situasi di dunia luar agak kacau. Kalau keluar tanpa senjata, para pedagang pasti dirampok habis-habisan oleh bandit."

"Sekarang, pihak pemerintah sudah menutup sebelah mata. Kalau mau bersenjatakan pedang, seseorang hanya perlu melapor kepada pihak pemerintah dan menyerahkan sejumlah uang. Kemudian, pihak pemerintah akan mengeluarkan izin. Tapi ini hanya berlaku untuk pedang, panah dan baju zirah masih dilarang."

Wira tersenyum sambil mengangguk, lalu berkata,
"Terima kasih atas petunjuknya, Pak Regan!"

Regan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Apa Tuan tertarik menjadi pedagang garam?"

Wira memicingkan matanya dan menjawab,
"Coba jelaskan."

Perdagangan garam di Nuala menggunakan sistem kupon. Pemerintah akan mengeluarkan kupon garam, lalu para pedagang akan membeli kupon itu dan membawanya pergi ke tambak garam untuk menukarnya dengan garam. Kemudian, para pedagang harus menjualnya berdasarkan wilayah dan dalam batas waktu yang ditentukan. Tanpa kupon garam, penjualan garam akan dianggap tindakan ilegal. Orang yang melakukannya akan dijebloskan ke penjara atau bahkan dijatuhi hukuman mati. Bagi orang biasa, membeli kupon garam untuk menjadi pedagang garam adalah jalan menuju kesejahteraan.

Namun, Wira memiliki banyak cara untuk menghasilkan uang. Jadi, dia tertarik untuk menjadi pedagang garam. Hanya saja, keterampilan memurnikan garam di Nuala masih sangat buruk sehingga garam yang dihasilkan sangat kotor. Mengonsumsi garam seperti itu dalam jangka panjang tidak akan baik untuk kesehatan. Jika ada kesempatan, Wira ingin menjual garam yang lebih murni untuk membantu warga di sekitar. Namun, usaha garam di Kabupaten Uswal dikuasai oleh Keluarga Silali selama ini. Apakah pihak pemerintah bisa mengambilnya kembali? Regan berkata dengan suara rendah,

"Saat menggeledah Kediaman Silali, kami mendapatkan kupon garam untuk tahun depan. Pihak pengadilan daerah berencana untuk melelangnya besok. Kalau tertarik, Tuan boleh menyiapkan uang dan mengikuti lelangnya. Pak Iqbal bilang, kalau bisa mendapatkan usaha ini, seseorang sudah nggak perlu takut hidup susah selama sisa hidupnya."

Setelah merenung sejenak, Wira bertanya,
"Kira-kira berapa banyak uang yang diperlukan untuk mendapatkannya?"

Regan berbisik,
"Ada kupon untuk 300 ribu kilogram garam. Setengah kilogram garam harganya 5 gabak. Pengadilan daerah akan melelangnya dengan harga segitu. Tapi, pasti ada banyak keluarga kaya lain yang mau mendapatkan kupon garam ini. Pada saat itu, harganya mungkin bisa menjadi lebih tinggi."

Harga garam dari tambak garam biasanya hanya beberapa gabak. Saat dijual di pasar, harganya bisa naik menjadi puluhan atau bahkan ratusan gabak karena biaya pengiriman dan faktor lainnya. Setelah merenung sejenak, Wira berkata,

"Gavin, bawa 10 batang sabun kemari!"

Gavin pun mengeluarkan 10 batang sabun dari kereta kuda dan memberikannya kepada Wira.
Wira memberikan tiga batang sabun itu kepada Regan, lalu berkata,
"Ini sedikit hadiah dariku, diterima ya!"

"Tuan, aku nggak bisa menerima barang darimu," jawab Regan.

Meskipun ingin menerimanya, dia.tidak berani mengambilnya. Sebatang sabun ini harganya 3.000 gabak. Tiga batang sudah 9.000 gabak. Ini bukanlah jumlah uang yang kecil. Wira tidak memedulikan Regan. Dia memberikan tujuh batang sabun yang tersisa kepada Iqbal yang sedang melamun dan berkata,

"Dipakai saja. Kalau nggak habis, kamu boleh memberikannya kepada bawahanmu."






Bab 138

"Terima kasih, Tuan!" ujar Iqbal sambil menerima tujuh batang sabun itu.

Kemudian, Iqbal berpikir dengan bingung,

'Apa Tuan Wira punya maksud lain dengan memberiku begitu banyak sabun dan juga menyuruhku membaginya kepada para bawahan?
Dia mau aku mendisiplinkan pejabat kecil supaya mereka nggak memeras rakyat biasa? Benar juga! Setelah mengatur para pejabat dengan baik, situasi seluruh negara juga akan menjadi lebih baik. Tenang saja, Tuan. Aku pasti akan mendisiplinkan para pejabat daerah ini agar rakyat bisa hidup damai!'

Setelah melihat kepergian Iqbal dan Regan, Wira pun berdesah. Iqbal sangat jujur dan hanya memerintahkan para bawahannya untuk bekerja tanpa memberikan mereka tambahan keuntungan. Namun, para pejabat kecil juga harus menghidupi keluarga. Wira memberikan beberapa sabun kepada Iqbal agar dia bisa memenangkan hati para bawahannya. Suryadi yang dari tadi melongo bertanya dengan terbata-bata,
"Wi ...Wira, siapa orang yang baru pergi barusan?"

Sebagai tukang besi yang sudah tinggal di kota bertahun-tahun,
"pejabat"
berpangkat tertinggi yang pernah ditemui Suryadi adalah pengawas pabrik. Dia bahkan belum pernah bertemu dengan kepala pabrik. Regan adalah seorang tokoh terkemuka di pengadilan daerah. Dapat dibayangkan setinggi apa kedudukan pria paruh baya itu.

"Ayah, apa perlu ditanya lagi? Kalau orang yang bersenjatakan pedang itu adalah Pak Regan, pria paruh baya itu pasti adalah pemimpin kabupaten!"

Lestari melirik ke arah Wira dan. bertanya dengan hati-hati,
"Kak Wira, bagaimana kamu mengenal Pak Iqbal? Kenapa dia bersikap begitu hormat terhadapmu? Kayak kamu itu seniornya saja!"

Wira meletakkan kedua tangannya di punggung, lalu menjawab,
"Mungkin dia merasa aku ini orang baik."
Saat pertama kali bertemu dengan Wira, Iqbal sudah memiliki kesan yang baik terhadap Wira bahkan sebelum Wira memberitahunya tentang strategi merobohkan tembok pasar. Iqbal juga menegur Mahendra yang mencemooh Wira. Dapat dikatakan bahwa mereka memiliki sifat yang sama sehingga mereka merasa cocok dengan satu
sama lain. Lestari berkata dengan cemberut,

"Kami semua juga orang baik, kenapa Pak Iqbal nggak bersikap hormat terhadap kami?"

Gavin, Gandi, dan Ganjar langsung menunduk dan berpikir,
'Kami bukan orang baik. Kami pernah merampok dan membunuh orang!'

Keesokan siangnya, di aula pengadilan daerah. Para orang kaya yang berkuasa di Kabupaten Uswal sudah berkumpul dan samar-samar membentuk dua kubu. Kubu yang satu adalah kubu Husni Sutedja, putra sulung Keluarga Sutedja. Kubu satunya lagi adalah kubu Dian Wibowo, putri sulung Keluarga
Wibowo. Husni mengenakan jubah sutra dan topi pejabat yang dipadu dengan ikat pinggang giok beserta cincin giok hijau. Di sisi lain, Dian mengenakan gaun hitam dan menutupi setengah wajahnya dengan cadar hitam. Dahinya terlihat putih, matanya juga sangat indah dan memesona. Saat melihat kedua orang ini, orang-orang mulai berspekulasi. Keluarga Sutedja menguasai bisnis kain di Kabupaten Uswal dan merupakan keluarga kaya yang patut dihormati. Di sisi lain, Keluarga Wibowo menguasai bisnis bahan pangan Kabupaten Uswal dan merupakan keluarga top di antara tiga keluarga kaya. Hari ini, kupon garam Keluarga Silali pasti akan didapatkan salah satu dari kedua keluarga ini. Mereka hanya datang untuk meramaikan suasana.

Brak!

Tiba-tiba, seorang pemuda berjalan masuk, lalu menaruh kotak yang dibawanya ke lantai. Begitu melihatnya, semua orang pun gempar.

"Siapa dia? Kok aku nggak pernah melihatnya?"

"Dari tampangnya, dia seharusnya adalah petani dari desa. Siapa yang membiarkannya masuk?"

"Kotak yang dibawanya sepertinya sangat berat dan berisi uang. Apa dia datang untuk membeli kupon garam?"
Semua orang berdiskusi dengan ramai. Husni mengerutkan keningnya. Dia langsung mengenali kotak yang berada di sebelah kaki pemuda itu. Kotak itu adalah kotak uang yang dikeluarkan adiknya, Hendra kemarin. Kenapa kotak itu bisa jatuh ke tangan pemuda ini? l Apa adiknya mencari pemuda ini untuk membeli gula putih? Saat diperhatikan sekelompok orang kaya, Gavin awalnya merasa sangat gugup. Namun, dia segera menenangkan diri. Sebagai mantan pencuri, dia pada dasarnya memiliki mental yang bagus. Dia juga pernah membunuh bandit, bertemu dengan pemimpin kabupaten, menghabisi pemuda kaya yang arogan, dan menghadapi berbagai macam hal sehingga mentalnya sudah bertambah kuat. Tiba-tiba, terdengar teriakan seorang pengawal,

"Pemimpin kabupaten dan pejabat sipil sudah tiba!"





Bab 139

Iqbal mengenakan pakaian berwarna hijau, sedangkan Radit mengenakan pakaian berwarna hitam. Seragam pejabat di Kerajaan Nuala terbagi atas beberapa tingkatan. Seragam pejabat tingkat kedelapan dan kesembilan berwarna hitam. Seragam pejabat peringkat keenam dan ketujuh berwarna hijau. Seragam pejabat tingkat keempat dan kelima berwarna merah. Seragam pejabat di tingkat ketiga, kedua, dan pertama berwarna ungu. Seorang raja akan mengenakan jubah yang memiliki bordir naga. Oleh karena itu, pembagian tingkatan ini sangat jelas dan bisa langsung dibedakan.

"Hormat kepada Pak Iqbal dan Pak Radit!" Semua orang berlutut untuk memberi hormat.

Meskipun para pedagang sangat kaya, mereka memiliki status yang paling rendah. Saat bertemu dengan pemimpin kabupaten, mereka harus berlutut untuk memberi hormat. Gavin juga berlutut sambil melamun. Jangankan pejabat setinggi Iqbal, dia bahkan pernah berlutut untuk memberi hormat kepada pejabat kecil seperti petugas patroli, kepala desa, dan petugas pajak. Dia ingat Wira pernah mengatakan bahwa orang yang layak diberi penghormatan dengan berlutut hanyalah orang tua, istri yang bijaksana, dan Tuhan. Pagi ini, Wira bertanya pada Doddy, Gavin, Gandi, dan Ganjar mengenai siapa yang bersedia mewakilinya menghadiri acara lelang kupon garam ini. Gavin dan Doddy sama-sama maju, tetapi Wira akhirnya menyerahkan tugas ini kepada Gavin.

"Bangkit!"

Iqbal duduk di kursi utama kanan, sedangkan Radit duduk di kursi sebelah kiri. Setelah itu, Gavin dan belasan pedagang lainnya pun berdiri, termasuk Husni dan Dian. Iqbal langsung berkata ke intinya,

"Keluarga Silali berkomplot dengan bandit untuk merampok orang lain dan mendapatkan kupon garam sebanyak 300 ribu kilogram garam untuk tahun depan. Sekarang, kami akan melelangnya mulai dari harga lima gabak per setengah kilogram. Orang yang menawarkan harga tertinggi akan mendapatkannya. Mari kita mulai!"

"Lima setengah gabak!"

"Enam gabak!"

"Enam setengah gabak!"

Belasan orang menawar hingga harganya mencapai sembilan gabak. Setelah mendengar harga sembilan gabak, tidak ada yang berani menawar lagi. Semua orang menatap ke arah Husni dan Dian. Kedua orang itu saling memandang, lalu Husni terlebih dahulu bersuara,
"Sepuluh gabak!"

Di sisi lain, Dian tidak lagi menawar dan melirik ke samping. Gavin merasa sangat gugup. Sebagai seorang mantan pencuri, dia malah memiliki kesempatan untuk bersaing dengan para orang kaya dalam mendapatkan kupon garam. Namun, Wira sudah menyuruhnya untuk bersabar dan menawar di akhir. Radit berkata,
"Apa ada yang mau menawar lagi? Kalau tidak, kupon garam akan menjadi milik Keluarga Sutedja!"

Saat melihat Gavin tidak bertindak, Dian bersuara,
"Empat belas gabak!"

Semua orang langsung gempar. Tidak ada yang menyangka Keluarga Wibowo akan langsung meningkatkan harganya sampai 14 gabak. Secara nominal, empat gabak memang merupakan jumlah yang sedikit, tetapi jika dikali dengan 300 ribu kilogram, penambahannya sudah sebesar 2,4 juta gabak. Jumlah ini sama sekali tidak sedikit. Mata Radit langsung berbinar. Semakin tinggi harga penjualan kupon garam, uang yang akan diterima pengadilan daerah dan dana yang dapat digunakan sebagai biaya operasional juga akan semakin banyak. Sementara itu, Iqbal malah mengerutkan keningnya. Harga kupon garam yang terjual dengan harga terlalu tinggi pada akhirnya akan membuat rakyat menderita. Namun, dia juga tidak bisa mencegahnya. Ekspresi Husni langsung menjadi muram. Dia berteriak, "Delapan belas gabak!"

Belasan pedagang lainnya langsung terkejut. Dengan harga setinggi itu, Keluarga Sutedja juga tidak akan mendapatkan keuntungan meskipun mendapatkan kupon garam.

Dian tersenyum ringan, lalu berkata,
"Paman Husni, aku akan menambah dua gabak lagi. Kalau kamu masih ingin melanjutkan, aku akan mengalah. Dua puluh gabak!"

Semua orang langsung heboh. Bahkan jika mengirim garam dari Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, harganya juga tidak mencapai 20 gabak. Dengan membeli kupon garam seharga 20 gabak, Keluarga Wibowo sudah rugi dua gabak. Dian tahu dirinya sudah rugi. Namun, asalkan bisa mendapatkan kupon garam, kelak perdagangan garam pasti tetap bisa menghasilkan uang. Ini juga merupakan jalan lain bagi keluarga mereka untuk berkembang.








Bob 140

Namun, Dian juga tidak bersedia untuk menderita kerugian yang terlalu banyak. Bagaimanapun juga, perdagangan garam membutuhkan banyak tenaga kerja. Akhir-akhir ini, keluarga mereka sudah mendapat pasokan sabun dan sedang berupaya untuk menjualnya ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu dengan harapan bisa menjadi distributor provinsi. Jadi, Keluarga Wibowo sedang kekurangan tenaga kerja. Jika kerugian dari perdagangan garam terlalu besar, mereka juga tidak mungkin merekrut orang lagi.

"Dian, kamu nekat sekali!"

Husni terkekeh, lalu berkata,
"Paman akan menerima tawaranmu, aku tambah satu gabak lagi!"

Meskipun akan rugi tahun depan, Husni harus mendapatkan kupon garam ini dan menambahkan peluang untuk keluarganya.

"Harganya sudah naik sampai 21 gabak! Pak Husni nekat sekali! Selamat kepada Keluarga Sutedja!"

Belasan pedagang menangkupkan tangan mereka sambil memberi selamat pada Husni, seolah-olah Keluarga Sutedja sudah pasti mendapatkan kupon garamnya. Husni tersenyum lebar sebagai balasan, lalu melirik ke belakang. Radit langsung berkata,
"Kalau tidak ada yang menawar lagi, kupon garam ini akan menjadi milik Keluarga Sutedja."

Pada saat ini, Gavin baru bersuara,
"Keluarga Darmadi menawar 22 gabak!"

Berhubung tidak ada keluarga besar bermarga Darmadi di Kabupaten Uswal, Husni bertanya dengan heran,
"Keluarga Darmadi dari mana?"

Gavin menjawab dengan bangga,
"Dari Dusun Darmadi di Desa Pimola!" Semua orang langsung terkejut. Akhir-akhir ini, reputasi Dusun Darmadi dari Desa Pimola sudah menjadi perbincangan hangat di kota kabupaten. Penduduk dusun itu adalah sekelompok penjahat dan pembunuh yang bahkan berhasil memusnahkan Desa Tiga Harimau. Husni tentu saja tidak menanggapi penduduk dusun biasa seperti Gavin dan berkata, "Keluarga Sutedja menawar 24 gabak!"

Meskipun harus rugi enam gabak, Keluarga Sutedja masih mampu menanggungnya. Asalkan bisa mendapatkan usaha ini, mereka pasti bisa mendapatkan keuntungan suatu hari nanti. Gavin berkata sambil menggertakkan gigi,
"Dua puluh lima gabak!"

Wira sudah berpesan pada Gavin untuk mendapatkan kupon garam ini selama harganya tidak melampaui 30 gabak. Namun, Gavin juga tidak berani menawar terlalu tinggi agar bisa membantu Wira menghemat uang. Husni mencibir,
"Dua puluh lima gabak? Memangnya kamu punya uang sebanyak itu? Setahuku, uang di dalam kotak itu hanya ada 700 ribu gabak. Itu juga merupakan uang yang diberikan oleh Keluarga Sutedja."

Begitu mendengar ucapan Husni, semua orang pun terkejut. Tidak ada yang menyangka Keluarga Sutedja bekerja sama dengan orang dari Dusun Darmadi. Di sisi lain, mata Dian malah berbinar. Dia sepertinya sudah menyadari sesuatu dan mulai merenung. Gavin merasa agak malu. Uang ini memang adalah uang yang didapatkan mereka dari bisnis dengan Keluarga Sutedja.

"Kalau kamu menawar 25 gabak, total yang harus kamu bayar sudah mencapai 15 juta gabak. Uang yang kamu bawa itu bahkan nggak mencapai setengahnya. Atas dasar apa kamu ikut menawar?"
Husni berbalik, lalu berkata sambil menangkupkan tangannya,
"Pak Iqbal, Pak Radit, dia sedang membuat tawaran dengan asal. Harap kalian menghukumnya!"

Radit langsung bersuara,
"Dasar tidak tahu diri! Beraninya kamu mengacaukan lelang di pengadilan daerah. Kalau kamu tidak bisa mengeluarkan 15 juta gabak, aku akan langsung menyita uangmu dan menjebloskanmu ke penjara. Selain itu, kamu juga akan dihukum sesuai peraturan Nuala!"

Jika bukan karena sekelompok warga pemberontak ini, mana mungkin Iqbal bisa menekan Radit dengan begitu cepat.

"Radit, kamu sudah berlebihan!"

Ekspresi Iqbal menjadi muram. Dia menatap Gavin dan bertanya,
"Apa kamu bisa membayar 15 juta gabak? Kalau nggak, segera bawa uangmu dan pergi dari tempat ini. Aku akan memaafkanmu. Bagaimanapun, tidak semua orang pandai berhitung. Dengan harga 25 gabak per setengah kilogram garam, harga 300 ribu kilogram garam sudah mencapai 15 juta gabak."

Gavin berkata dengan yakin,
"Bisa! Sebagian besar uang Tuan Wira berada di Kota Pusat Pemerintahan Jagabu. Kami harus ke sana untuk membawa pulang uangnya."

Husni mencibir,
"Kalau aku bilang uangku ada di ibu kota kerajaan dan perlu waktu tiga bulan untuk ke sana, bukankah semua orang sudah nggak perlu makan garam lagi tahun depan?"

Gavin menjawab dengan suara berat,
"Tidak perlu sampai tiga bulan. Dalam waktu satu bulan, kami akan membawa uangnya kembali. Tuan Wira menyuruhku untuk membuat perjanjian tertulis dengan pengadilan daerah. Kalau kami tidak bisa membayar uangnya tepat waktu, kalian boleh menyita uang muka ini!”

"Tuan mau pergi ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu?"
Iqbal langsung bersemangat dan berkata,

"Baik, aku setuju. Mari kita teruskan
lelangnya!"

Radit berkata dengan heran,
"PakIqbal, aku rasa keputusan ini kurang tepat. Kalau mereka tidak bisa membayar tepat waktu, produksi garam akan tertunda satu bulan dan kita masih harus melakukan lelang ulang. Pada saat itu, distribusi garam untuk tahun depan pasti akan terhambat. Ini adalah masalah besar!"

Iqbal berkata dengan ekspresi muram,

"Pokoknya, masalah ini sampai di sini saja. Aku akan menanggung seluruh konsekuensinya!"

Begitu mendengar ucapan Iqbal, Radit pun duduk dengan ekspresi suram. Kemudian, Iqbal melanjutkan,

"Aku mau mengingatkan semuanya, tidak peduli seberapa mahal kalian membeli kupon garam ini, harga jualnya tidak boleh melampaui 50 gabak per setengah kilogram. Jika tidak, pihak pemerintah akan menyita kupon garam dan garam dapur kalian!"














 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

71-80 #perjalanandimensiwaktusanggenius

41-60 Perjalanan dimensi waktu sang genius